Sunday, March 2, 2014

Pandangan-pandangan Keliru Tentang Hudud

Banyak orang salah sangka jika membayangkan negara yang dipimpin berdasarkan Al Quran dan As Sunnah itu sebagai negara yang agenda utamanya memata-matai dan menghukum rakyat yang tidak mematuhi syariat.
Gambaran negara yang Islami sebagai negara yang sibuk mencari terdakwa untuk dihukum dengan undang-undang hudud adalah gambaran yang salah yang ada di pikiran sebagian pihak yang kurang memahami Islam. Seperti yang saya jelaskan sebelum ini, hudud hanya mekanisme untuk mengatasi jinayah-jinayah (kriminalitas) tertentu, bukan gambaran keseluruhan negara Islam, bahkan bukan hudud juga undang-undang yang merangkum semua jinayah (kejahatan).
Banyak lagi jinayah (kejahatan) yang tidak tersenarai di bawah hudud. Sebagian besar jinayah (kejahatan) bermacam-macam, terutama di zaman ini, berada di bawah takzir (discretionary punishment). Mekanisme ini juga memerlukan suasana yang kondusif untuk pelaksanaannya.
Seseorang Muslim jika berbicara tentang pemerintahan dan tanggungjawab pemerintahan bukanlah membayangkan mekanisme mengatasi jinayah (kejahatan) semata, tetapi membayangkan tanggungjawab keadilan dan kebajikan yang menjadi asas tersebarnya kebaikan dan keamanan dalam negara.
Karena itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat beliau dilantik menjadi khalifah, beliau seakan tergumam dan begitu mengiba. Beliau terus bersendirian bershalat dan menangis. Airmatanya bercucuran hingga ke janggutnya. Bila isterinya Fatimah bertanya, dia berkata:
“Wahai Fatimah! Aku telah dikalungkan urusan umat Muhammad ini yang meliputi berbagai bangsa. Maka aku terpikir tentang orang fakir yang lapar, yang sakit lagi derita, orang yang tidak berpakaian yang susah, orang yang dizhalimi lagi dipaksa, tawanan perang yang jauh, orang tua yang udzur, orang yang mempunyai keluarga yang banyak sedangkan hartanya sedikit dan seumpama mereka yang berada di segala tempat dan penjuru negara. Aku tahu tuhanku akan bertanya padaku mengenai mereka pada Hari Kiamat kelak. Aku bimbang alasanku tidak cukup kukuh untuk menjawabnya, lalu aku pun menangis.” (Adz Dzahabi, Tarikh Al Islam wa Wafayat Al Masyahir wa Al A’lam, 7/197. Beirut: Dar Al Kitab Al ‘Arabi/1407H)
Demikianlah gambaran tanggungjawab pemerintahan yang ada dalam pemikiran beliau. Tanggungjawab menyebarkan kebajikan, pembagian harta yang adil dan amanah serta kebaikan untuk rakyat di segenap lapisan masyarakat. Tanggungjawab inilah yang beliau takut dan bimbang Allah hukum beliau di akhirat kelak. Inilah asas kerahmatan dalam kepimpinan negara yang berdasarkan wahyu Allah. Tanggungjawab pemerintah di hadapan Allah tentang kebajikan rakyat lebih ditakuti dibandingkan di hadapan rakyat sendiri atau ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’.
Itulah gambaran negara yang sepatutnya berada dalam pemikiran umat Islam yang cintakan Islam. Para sarjana Islam telah lama mengatkan hal ini. Muhammad bin Ka’ab Al Qurtubi jika diminta oleh ‘Umar bin Abdul Aziz untuk menyifatkan keadilan pemerintah, katanya:
“Jadilah engkau ayah bagi yang muda, anak kepada yang tua, saudara kepada yang sebaya. Demikian juga kepada wanita. Hukumlah manusia dengan kadar kesalahan dan kemampuan mereka. Jangan engkau pukul disebabkan kemarahanmu walaupun satu pukulan, nanti engkau termasuk dalam golongan yang melampau.” ( Ibn Muflih, Al Adab Asy Syar‘iyyah, 1/202. Beirut: Muassasah Ar Risalah/1417H).
Membedakan Jenis Jinayah (Kejahatan)
Dalam hudud ada dua jenis dosa yang dihukum; pertama; dosa yang melibatkan kesalahan individu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti berzina dan minum arak. Dosa bagian ini lebih kepada merusakkan diri pelaku itu sendiri. Kedua; dosa yang merusakkan atau mengancam keselamatan masyarakat awam seperti merompak, memperkosa, mencuri, memberontak, dan perkara yang berkaitan dengannya.
Dosa bagian pertama Islam melarang kita melakukan tajassus ataupun memata-matai. Sementara dosa bagian kedua, oleh karena ia mengancam masyarakat dan fitnah lebih besar dari tajassus, maka memata-matai boleh dilakukan. Ini seperti yang disebut oleh Al Imam Asy Syaukani (meninggal 1250H):
“Aku katakan; jika hanya semata-mata sangkaan maka tidak mencukupi dalam hal ini. Bahkan mestilah dengan pengetahuan, jika tidak, ia termasuk dalam tajassus yang dilarang berdasarkan dalil Al Quran. Namun dibolehkan untuk suatu kemaslahatan yang mana membantah kemungkaran itu lebih kukuh dibandingkan meninggalkan tajassus dan kerusakan meninggalkan bantahan terhadap kemungkaran lebih dahsyat dari kerusakan tajassus. Atau mungkin boleh digabungkan bahawa pengharaman tajassus berkaitan dengan tanpa pengetahuan (sangkaan) karena tidak dinamakan tajassus jika perlaksananya benar-benar mengetahui.” (Asy Syaukani, As Sail Al Jarar, 4/591 Beirut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah/1405H)
Hudud dan Hak Privasi
Banyak akan menganggap, jika hudud dilaksanakan berarti privacy individu akan terganggu. Memata-matai di sana-sini akan dibuat untuk mencari orang yang berzina dan minum arak. Ini diburukkan lagi dengan gambaran perlaksanaan sekarang yang dilakukan oleh pihak penegak agama di sebagian tempat jika mereka seakan memasang ‘spy’ dalam mencari pelaku maksiat pribadi. Hal ini amat salah dan bertentangan dengan firman Allah dalam Surah Al Hujurat ayat 12:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) karena sesungguhnya sebagian dari sangkaan itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintip mencari-cari kesalahan orang..”
Dr Yusuf Al Qaradhawi menyebut:
“Aku ingin agar diberikan perhatian tentang perkara yang penting mengenai hudud; bahwa Islam tidak terkejar-kejar mencari bukti, tidak mengintai untuk melaksanakan hukum ke atas pelaku kesalahan, tidak mencipta alat untuk mencari rahasia pelaku maksiat atau memasang kamera tersembunyi mengambil gambar ketika mereka melakukan jinayah (kejahatan). Tidak pula membentuk polisi pencari jinayah (kejahatan) atau mata-amata untuk mengintip mereka yang menyalahi syara’ sehingga dianggap yang terlibat. Bahkan kita dapati panduan Islam dalam hal ini tegas setegas-tegasnya dalam memelihara kehormatan peribadi manusia, pengharaman tajassus (memata-matai) dan mencari keaiban manusia. Tidak boleh dilakukan oleh individu, tidak juga oleh pihak pemerintah.” (http://www.qaradawi.net/library/53/2534.html.)
Kemudian beliau mengemukakan dalil riwayat Al Hakim daripada ‘Abd Ar Rahman bin ‘Auf:
“Bahwa dia berpatroli bersama Umar bin Al Khattab Radhiyallahu ‘Anhumma pada suatu malam di Madinah. Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba nampak nyala api di sebuah rumah. Mereka pun pergi menuju ke situ sehingga saat dihampiri didapati pintunya terkunci, di dalamnya ada sekumpulan orang dengan suara yang kuat.
Lalu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata -sambil memegang tangan ‘Abdur Rahman-: “Kau tahukah ini rumah siapa?.” Jawab: “Tidak.” Kata Umar: “Ini rumah Rabi’ah bin Umayyah bin Kalaf, mereka sekarang sedang mabuk arak, apa pendapat kamu?” Kata ‘Abdur Rahman: “Aku berpendapat kita sekarang telah melakukan apa yang Allah larang, Allah berfirman: “Jangan kamu mengintip.” Kita telah mengintip. Maka Umar pun pergi dan meninggalkan mereka.”( Riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak, dinilai shahih serta didukung oleh Adz Dzahabi).
Akibat dari amalan yang salah memberikan gambaran yang salah tentang hudud. Islam dalam urusan jinayah (kejahatan) atau maksiat peribadi tidak membongkar yang tertutup, sebaliknya hanya mencegah yang nyata dan zahir saja. Seperti kata Al Imam Al Ghazali (meninggal 505H):
“Hendaklah kemungkaran tersebut zahir (jelas) kepada ahli hisbah (pencegahan) tanpa perlu melakukan memata-matai. Barangsiapa yang menutup sesuatu kemaksiatan di dalam rumahnya, dan mengunci pintunya maka tidak harus untuk kita mengintipnya. Allah Ta’ala telah melarang hal ini.” (Al Ghazali, Ihya ‘Ulum Al Din, 3/28, Beirut: Dar Al Khair/1990).
Membina Masyarakat Yang Pemaaf
Dalam perlaksanaan hudud, pemerintah hendaklah mendidik rakyat agar mengelakkan sikap suka mengangkat kasus hudud kepada pihak mahkamah atau berkuasa. Sebaliknya, hendaklah digalakkan pemaafan antara rakyat dan diselesaikan di luar mahkamah. Ini seperti hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya pencuri pertama dalam Islam dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu diperintahkan agar dipotong tangan. Wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seakan kecewa sedih. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah! Seakan engkau membenci hal ini.” Jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Mengapa tidaknya aku benci, kamu semua telah menjadi penolong syaitan menentang saudara kamu. Sesungguhnya tidak wajar bagi pemerintah yang diangkat kepadanya hukuman had melainkan dilaksanakan.”
Lalu baginda membaca firman Allah: “Hendaklah kamu maafkan dan lupakan kesalahan, tidakkah kamu suka supaya Allah mengampunkan dosa kamu?” (Surah An Nur: 22)” (Riwayat Ahmad dan Al Hakim dalam Al Mustadrak. Dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah).
Keinginan sebagian masyarakat awam yang tidak faham yang seakan ‘mengidam’ untuk melihat tangan dipotong adalah tidak serasi dengan inspirasi hudud bahkan itu menjadikan mereka ‘penolong syaitan’.
Hudud Memerlukan Ijtihad Baru
Tiada siapa yang mukmin menafikan kewujudan nash-nash hudud dalam Al Quran dan As Sunnah. Hanya saja, perincian hudud itu memerlukan ijtihad yang mengambil perhitungan soal perubahan zaman dan tempat. Umpamanya kadar barang curian memerlukan ijtihad yang baru karena fuqaha sejak dahulu berbeda dalam hal ini. Cara potongan; penggunaan alat moden dan obatan modern juga perlu diambil perhatian atas sifat ihsan Islam dalam semua perkataan. Demikian juga suasana masyarakat juga hendaklah diambil pemikiran.
Demikian ruangan taubat dalam hudud juga hendaklah diluaskan dengan memakai mazhab yang luas dalam hal ini. Mereka yang bertaubat sebelum tangkapan patut digugurkan hukuman hududdan boleh diganti dengan takzir (discretionary punishment).
(sumber: fimadani.com)

Hukuman Bagi Pencuri Kain Kiswah Ka’bah

Kiswah adalah kain yang menutupi Ka’bah di Makkah, Saudi Arabia. Kain ini biasanya diganti setiap tahun pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari ketika jamaah haji berjalan ke Bukit Arafah pada musim Haji. Nama kiswah dalam bahasa Arab berarti ‘selubung’ (kain yang dikenakan pada peti) dan seasal dengan kata kisui dalam bahasa Ibrani.
Setiap tahun, kiswah lama diangkat, dipotong-potong menjadi beberapa bagian kecil dan dihadiahkan kepada beberapa orang, pejabat Muslim asing yang berkunjung dan organisasi asing. Beberapa di antara mereka turut bertukar suvenir Haji.
Pada masa-masa sebelumnya Umar bin Khattab memotong-motongnya dan membagi-bagikannya kepada para jamaah yang hendak menggunakannya sebagai pelindung dari panasnya suhu kota Makkah.
Biaya pembuatan kiswah saat ini mencapai 17.000.000 Riyal Saudi. Kain ini memiliki luas 658 m2 dan terbuat dari sutera seberat 670 kg. Jahitannya terdiri dari benang emas seberat 15 kg. Kain ini terdiri dari 47 bagian kain dan masing-masing kain memiliki panjang 14m dan lebar 101m.
Kiswah dipasang mengitari Kakbah dan direkatkan ke tanah menggunakan cincin tembaga Jahitan ayat-ayat Quran yang biasanya dirancang secara manual sekarang dibantu oleh komputer yang mempercepat masa pembuatan kain ini.
Disebutkan dalam kitab Fiqih Empat Madzhab bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman bagi seseorang yang mencuri kain kiswah Ka’bah. Berikut pendapat masing-masing madzhab:
Menurut madzhab Malikiyah siapa yang mencuri sesuatu dari dalam Ka’bah pada waktu ada izin untuk boleh memasukinya maka yang bersangkutan tidak dikenakan hadd. Tapi jika tidak pada waktu diizinkan memasukinya maka pencuri tersebut dikenakan hadd jika ia sampai mengeluarkannya sampai ke tempat thawaf.
Menurut madzhab  Syafi’iyah dikenakan hadd bagi orang yang mencuri tirai/kiswah Ka’bah jika dikelilingkan padanya karena tirai tersebut dianggap terjaga ketika itu.
Menurut madzhab Hanabilah  siapa yang mencuri tirai Ka’bah atau barang yang ada di dalam Ka’bah dan mencapai nisab maka yang bersangkutan dikenakan hukuman hadd. Karena perbuatannya tersebut dianggap telah menodai kehormatan dan kemuliaan Baitullah. Hal tersebut juga menunjukkan kelemahan imannya dan tidak mengindahkan kehormatan Kaabah yang disebut sebagai Baitullah maka harus ditegaskan hukuman baginya yaitu dengan hadd.
Menurut madzhab Hanafiah siapa yang mencuri tirai K’bah dan mencapai nisab maka yang bersangkutan tidak dikenakan hadd karena barang tersebut dianggap tidak ada yang memilikinya. Kemudian yang berangkutan mungkin saja dia hanya bermaksud atau mengharap keberkahan dengan mengambilnya.
Makna hudud (bentuk jamak dari hadd) secara istilah cukup banyak didefinisikan oleh para ulama, sesuai dengan kriteria tentang hukum hudud dalam pandangan mereka.
Intinya para ulama sepakat bahwa makna hudud adalah hukuman yang sifatnya ketetapan dari Allah atas pelanggaran dosa, dimana bentuk, tata cara dan teknis hukumannya bukan ditentukan oleh manusia, seperti nabi, shahabat atau para ulama, namun semua telah ditentukan langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan istilah hudud pada makna aslinya sebenarnya mengacu kepada bentuk hukuman yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan, namun terkadang juga dipakai untuk menamakan perbuatannya juga.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menetapkan hukum hudud, berupa pemotongan tangan, buat orang yang mencuri harta milik orang lain yang telah memenuhi semua ketentuan dan syarat pemotongan tangan.
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 38)
(sumber: fimadani.com)

Sejarah Syi’ah Membunuh Jamaah Haji dan Mencuri Hajar Aswad

Daulah Qaramithah adalah kerajaan yang berideologi Syi’ah Isma’iliyah sebuah ideologi sesat yang meyakini imamah (kepemimpinan) Ismail bin Ja’far Ash Shadiq.
Setelah wafatnya Ja’far bin Muhammad Ash Shâdiq, kaum Syi’ah terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Mûsâ Al Kâzhim, mereka inilah yang kemudian disebut Syi’ah Itsnâ ‘Asyariyah (aliran Syi’ah yang meyakini adanya imam yang berjumlah dua belas orang).
Dan satu kelompok lagi menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya yang lain, yaitu Ismâ’il bin Ja’far, kelompok ini kemudian dikenal sebagai Syi’ah Ismâ’iliyah. Kadang kala mereka dinisbatkan kepada madzhab bathiniyah dan kadang kala dikaitkan juga dengan Qarâmithah. Akan tetapi, mereka lebih senang disebut Ismâ’iliyah. [ Al Milal wan Nihal (I/191-192)]
Daulah Qaramithah dinisbahkan kepada Hamdân Qirmith, pemimpin mereka. Kemudian pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan Qarâmithah. Daulah ini didirikan oleh Abu Said Al Jannabi tahun 278 H berpusat di Bahrain. Daulah ini berkuasa selama kurang lebih 188 tahun. Menguasai daerah Ahsa’, Hajar, Qathif, Bahrain, Oman, dan Syam.
Ketika mereka sudah memiliki kekuatan dan berhasil mendirikan daulah Bahrain, mereka melakukan perampasan, pembunuhan dan pemerkosaan, kekejaman yang mungkin tidak dilakukan oleh bangsa Tatar maupun kaum Nasrani sekalipun. Mereka inilah, yang telah bersekutu bersama kaum Nasrani dan Tatar (Mongol) untuk melawan Islam dan kaum Muslimin. Di antara tokoh mereka yang menimpakan fitnah besar terhadap kaum Muslimin adalah Abu Thâhir Sulaimân bin Hasan Al Janâbi.
Rentetan Peristiwa
Tahun 294 H, Qaramithah dipimpin Zakrawaih menghadang kepulangan jamaah haji dan menyerang mereka pada bulan Muharram. Terjadilah peperangan besar kala itu. Di saat mendapat perlawanan sengit, Syi’ah Qaramithah menarik diri dengan nada bertanya, “Apakah ada wakil sultan di antara kalian?”
Jamaah haji menjawab, “Tidak ada seorang pun (yang kalian cari) di tengah-tengah kami.”
Qaramithah lalu berujar, “Maka kami tidak bermaksud menyerang kalian (salah sasaran).”
Peperangan pun berhenti. Sesaat kemudian, ketika jamaah haji merasa aman dan melanjutkan perjalanannya, maka para pengikut Syi’ah kembali menyerang mereka. Banyak jamaah haji yang terbunuh disana. Adapun mereka yang melarikan diri, diumumkan akan diberi jaminan keamanan oleh Syi’ah. Ketika sisa jamaah haji tadi kembali, maka pasukan Syi’ah berkhianat dan membunuh mereka.
Peran kaum wanita Syi’ah pun tidak kalah sadisnya. Paska perang, kaum wanita Syi’ah mengelilingi tumpukan-tumpukan jenazah dengan membawa geriba air. Mereka menawarkan air tersebut di tengah-tengah korban perang. Apabila ada yang menyahut, maka langsung dibunuh. Jumlah jamaah haji yang terbunuh saat itu mencapai 20.000 jiwa, ditambah dengan harta yang dirampas mencapai dua juta dinar. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tahun 312 H, Qaramithah dipimpin Abu Thahir, putra Abu Said, menyerang jamaah haji asal Baghdad ketika pulang dari Mekah pada bulan Muharram. Mereka membunuh dan merampas hewan-hewan bawaan jamaah haji tersebut. Adapun sisa jamaah haji, ditinggalkan begitu saja sehingga mayoritasnya mati kehausan di tengah teriknya matahari. [Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 38]
Tahun 315 H, Qaramithah berjumlah 1.500 tentara dipimpin oleh Abu Thahir maju menuju Kufah pada bulan Syawwal. Mereka dihadapi oleh pasukan Khalifah saat itu sebanyak 6.000 tentara. Walhasil, pasukan Syi’ah memenangkan peperangan dan berhasil membunuh mayoritas pasukan Kufah.
Tahun 317 H, Qaramithah sebanyak 700 tentara dipimpin Abu Thahir, yang berumur 22 tahun, mendatangi Mekah saat musim haji. Selanjutnya, mereka membunuh jamaah haji yang sedang menunaikan manasiknya. Sementara itu, Abu Thahir duduk di depan Ka’bah dan berseru, “Aku adalah Allah, demi Allah, aku menciptakan seluruh makhluk dan yang mematikan mereka.”
Tahun 317 H, mereka menyerang jamaah haji di Masjidil Harâm, dan membunuhi para jamaah yang berada dalam masjid lalu membuang mayat mayat ke sumur Zamzam. Mereka membunuh orang orang di jalan-jalan kota Mekah dan sekitarnya. Jumlah korbannya mencapai 30.000 jiwa. Bahkan ia merampas kelambu Ka’bah dan membagi-bagikannya kepada pasukannya. Ia menjarah rumah-rumah penduduk Mekah dan mencungkil Hajar Aswad dari tempatnya untuk ia bawa ke Hajar (ibukota daulah mereka di Bahrain). [Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 54]
Abu Thahir segera memerintahkan pasukannya untuk mengambil pintu Ka’bah, dan menyobek-nyobek tirai Ka’bah. Salah seorang tentaranya memanjat Ka’bah untuk mengambil talangnya, namun tewas terjatuh. Ia juga memerintahkan salah satu tentaranya untuk mengambil Hajar Aswad.Tentara tersebut mencongkelnya dan dengan angkuhnya berseru, “Mana burung yang berbondong-bondong itu? Mana pula batu dari neraka Sijjil (yang menimpa pasukan Raja Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah menjelang masa kelahiran Nabi)?”
Imam Ibnu Katsir rahimahullah merekam kekejaman yang dilakukan oleh Abu Thâhir Al Janâbi Al Bâthini ini dengan berkata:
“Ia menjarah harta penduduk Mekah dan menghalalkan darah mereka. Ia membunuhi manusia di rumah-rumah mereka hingga yang berada di jalan-jalan. Bahkan menjagal banyak jamaah haji di Masjdil Haram dan di dalam Ka’bah. Lalu pemimpin mereka, yakni Abu Thâhir –semoga Allâh Azza wa Jalla melaknatnya- duduk di pintu Ka’bah, sementara orang-orang disembelihi di hadapannya dan pedang-pedang berkelebatan membantai orang-orang di Masjidil Haram pada bulan haram (suci) di hari Tarwiyah yang merupakan hari yang mulia. Sementara Abu Thâhir ini berseru, “Aku adalah Allâh, Allâh adalah aku. Aku menciptakan makhluk dan akulah yang mematikan mereka. Orang-orang pun berlarian menyelamatkan diri dari kekejaman Abu Thâhir ini. Di antara mereka bahkan ada yang bergantung pada kelambu Ka’bah. Namun itu tidak menyelamatkan jiwa mereka sedikit pun. Mereka tetap ditebas habis dalam keadaan seperti itu. Mereka dibunuhi meskipun mereka sedang bertawaf…”
Ibnu Katsir melanjutkan,
“Setelah pasukan Qarâmithah ini melakukan aksi brutal mereka itu –semoga Allâh melaknat mereka- dan perbuatan keji mereka terhadap para jamaah haji, Abu Thahir ini menyuruh pasukannya agar melemparkan mayat-mayat yang tewas ke sumur Zamzam. Dan sebagian lain dikubur di tempat-tempat mereka di tanah haram bahkan di dalam Masjidil Haram. Lalu kubah sumur Zamzam pun dirobohkan. Kemudian Abu Thâhir memerintahkan agar mencopot pintu Ka’bah, melepaskan kelambunya, untuk ia koyak-koyak dan bagikan kepada pasukannya.”  [Al Bidâyah wan Nihâyah (XI/160)]
Setelah berlalu enam hari, mereka pulang membawa Hajar Aswad.
Gubernur Mekah dengan dikawal pasukannya segera menemui pasukan Syi’ah tersebut di tengah jalan. Berharap agar mereka mau mengembalikan Hajar Aswad dengan imbalan harta yang banyak. Namun Abu Thahir tidak menggubrisnya. Terjadilah peperangan setelah itu.
Pasukan Qaramithah menang dan membunuh mayoritas yang ada di sana. Lalu melanjutkan perjalanan pulang ke Bahrain dengan membawa harta rampasan milik jamaah haji. Setelahnya, dibuatlah maklumat menantang umat Islam bila ingin mengambil Hajar Aswad tersebut, bisa dengan tebusan uang yang sangat banyak atau dengan perang.
Hajar Aswad pun berada di tangan mereka selama 22 tahun. Mereka lalu mengembalikannya pada tahun 339 H, setelah ditebus dengan uang sebanyak 30.000 dinar oleh Al Muthi’ Lillah, seorang khalifah Daulah Abbasiyah.
Penyerangan Era Modern
Pada tahun 1987, Syiah Iran menyerang Ka’bah di Makkah. Mereka pergi ke sana untuk menaklukkan Ka’bah dan menjatugkannya. Tetapi karena kasih karunia dari Allah dan doa semua jamaah Haji Muslim yang mulia, Pasukan Keamanan Saudi Arabia berhasil mengusir mereka pergi. Sekitar 405 orang tewas saat keluar dari Masjidil Haram dari mereka  dan 50 orang jamaah haji lain dari seluruh dunia.
Faiz Syakir, salah seorang juru bicara Syi’ah Hizbullah Libanon, berbicara secara langsung dalam sebuah program wawancara di OTV. “Hizbullah tidak akan dapat dimusnahkan. Hizbullah pasukan terkuat di kalangan negara-negara Arab. Lebih kuat daripada seluruh peradaban di dunia dari segi ekonomi, kekuatan militer dan sosial,” ujar Syakir, Agustus 2013.
Pernyataan Syakir ini sehubungan dengan adanya ancaman Bandar bin Sultan—putera mahkota Raja Qatar yang akan menyerang Basyar al-Assad. “Apa lagi yang kalian pikirkan? Kami tidak takut pada ancaman itu? Bahkan kami tidak takut pada Saudi, sekalipun dengan seluruh kekuatannya, dari raja hingga rakyat mereka yang terakhir. Mereka pikir, mereka siapa?”
“Jika mereka membom Gunung Qasiun di Damaskus, pusat kekuatan militer Basyar, maka kami akan menyerang Mekah di depan kepala mereka sendiri!”
Wartawan yang hadir di situ sontak melontarkan pertanyaan, “Mekkah? Bukankah itu tempat suci bagi mereka?”
“Biarkan saya berbicara. Saya tidak peduli lagi semuanya. Ini fakta. Kami akan memusnahkan Mekkah dan Madinah, juga Jeddah dan Riyadh, dengan semua yang ada di dalamnya, yang tinggal dalam kota-kota ini. Ini fakta dan strategi kami. Keberadaan kami lebih penting dari ‘batu-batu’ dan ‘bukit-bukit’ mereka.”
Wartawan yang masih dalam keadaan terkejut, kembali bertanya, “Siapa yang akan memusnahkan Mekkah? Iran? Suriah? Hizbullah? Tempat itu adalah tempat suci bagi mereka…”
“Saya tidak akan mengatakannya. Tapi jika mereka mengancam kami, kami tahu bagaimana membalas ancaman itu,” pungkasnya.

(sumber: fimadani.com)

Semua Perbuatan Bid'ah Tertolak (Hadits ke-5 Arba'in Nawawi)



عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد " رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم " من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد


Terjemahan:

Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak".
(Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)

[Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]

Penjelasan:

Kata “Raddun” menurut ahli bahasa maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat “bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek yang penuh arti yang dikaruniakan kepada Rasulullah. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.

Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan hadits ini sebagai alas an bila ia melakukan suatu perbuatan bid’ah, dia mengatakan : “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits diatas.

Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan, dan digunakan sebagai bantahan terhadap kaum yang ingkar karena isinya mencakup semua hal. Adapun hal-hal yang tidak merupakan pokok agama sehingga tidak diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup dalam larangan ini, seperti menulis Al-Qur’an dalam Mushaf dan pembukuan pendapat para ahli fiqih yang bertaraf mujtahid yang menerangkan permasalahan-permasalahan furu’ dari pokoknya, yaitu sabda Rosululloh . Demikian juga mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu hitung, faraid dan sebagainya yang semuanya bersandar kepada sabda Rasulullah dan perintahnya. Kesemua usaha ini tidak termasuk dalam ancamanhadits diatas.Wallahu a’lam

(sumber:http://hadis-arbain.blogspot.com)